Archive for Maret 2012
TIPS BUAT YG HOBI DEMONSTRASI
Beberapa hari ini headline berbagai media di Indonesia baik yg elektronik maupun cetak ramai memberitakan maraknya demonstrasi akibat rencana Pemerintah untuk menaikan harga BBM. Dari berbagai aksi demonstrasi tersebut tak jarang berakhir pada sebuah insiden kericuhan, dan merugikan masyarakat luas. Niat demo buat memperjuangkan aspirasi masyarakat, endingnya malah merugikan masyarakat dengan menyebabkan kemacetan, keributan, dan kerusakan. Trus kalo kayak gini siapa yang patut buat disalahin??? Gue?? temen2 Gue? Keluarga Gue??
Nah, untuk menghindari ending demo yang anarkis, Gue sebagai jomblo dan masih berbentuk mahasiswa akan memberikan beberapa tips buat kalian yang hendak ber-DEMONSTRASI-ria !!!!!
1. Bawalah peralatan mandi dari rumah. karena Polisi udah nyiapin water cannon kok. Hitung2 hemat air.
2. Bawalah lotion anti serangga & pestisida ini bertujuan bila pemerintah menurunkan tomcat untuk menghalau massa.
3. Buat yg cowok, demonya gak usah pake bedak. Ribet cyiiiiiiinnnntttt.
4. Kalo ada kameramen, bikin aksi yg heboh, misal orasi sambil kayang, kali aja diwawancara, masuk TV
5. Lindungi kulit kamu dari sengatan uv pake sunblock. Kalo perlu pake sunlight, biar lemak di tubuh kamu luntur.
6. Make-up cewek jangan terlalu menor, simpel aja, yang cocok sama matahari. Pakailah arang.
7. Bagi mahasiswi yang ikut demo, jangan pake rok mini sebatas leher dan bersepeda, nanti di kira SPG yakult.
8. Bawalah atribut yg bertuliskan, "CEM44NgAADD CemUAaachH!!"
9. Kalo mau demo jangan bawa mantan, susah move on-nya. #JLEEEBBB!!!
10. Melangkahlah dengan sejuta semangat, bukan sejuta mawar. Ingat, kmu mau demo, bukan mau ngelamar si mawar
11.Pastikan di Kampus nggak ada UTS atau UAS waktu hari H demo,masa depan kalian lebih penting Nak ....
12. Koordinasikan gerakan serapi mungkin, satukan niat bulatkan tekad. Contoh penonton DAHSYAT yg kompak banget jogetnya.
13. Sebaiknya demo tidak menghalangi jalanan umum karena bisa karma suatu hari nanti cinta kamu terhalang.#eeeeeeeeaaaaaaaaa
14. Yang demonya dibayar, jangan lupa 2,5% untuk sedekah yah...biar barokah.
Well, itu tadi beberapa tips buat kalian yang hobi banget demonstrasi, semoga demo kalian bermanfaat bagi umat, akhir kata STOP ANARKISME !!! PIIIIZZZZ....LOOOOVVVVV...ENDDD..GAAAAUUUUUULLLL !!!!
Dalam Ekstase Kekerasan "The Raid"
UNTUK waktu yang lama, The Raid pastilah akan diingat-ingat setiap orang yang sudah menontonnya.
The
Raid adalah jenis film yang memberi pengalaman baru dalam ritual
menonton film. Tidak pernah sebelumnya, dalam ukuran film manapun,
apalagi Indonesia, sebuah film menampilkan adegan laga dengan begitu
keras, begitu brutal. The Raid disebut tak sekadar film kekerasan
(violent movie) tapi lebih dari itu, ultra-violent movie.
Kenapa The Raid istimewa?
Secara
pengisahan The Raid punya plot sederhana. Sekelompok pasukan polisi
khusus, lebih persis tim SWAT polisi Amerika ketimbang Densus 88,
menyerbu sebuah gedung sarang penjahat. Pertarungan berlangsung dari
satu tingkat ke tingkat lain. Itu saja. Anda pasti tak terlalu peduli
pada si tokoh utamanya, Rama (diperankan Iko Uwais) punya misi lain saat
bilang di awal film, “Aku akan bawa dia pulang.” Atau ketika penonton
diajak pada sebuah penjelasan apa misi penyerbuan itu direstui lembaga
kepolisian atau tidak.
Namun, kita, sebagai penonton, butuh adegan
itu. Sebab itu momen-momen ketika kita menghela nafas sejenak, minum
coke atau makan popcorn yang sudah dibeli. Lantaran di sebagian besar
isi film ini, sineasnya seolah tak memberi kesempatan kita bernafas.
Saya
katakan menonton The Raid adalah pengalaman baru karena untuk kali
pertama, saat nonton film jantung saya berdegup sama persis ketika naik
roller coaster Halilintar di Dufan. Saya percaya, saat sebuah film
dikatakan a roller coaster ride ungkapan tersebut sekadar hiperbolis.
Karena keasyikan nonton film tentu akan beda dengan saat
diombang-ambingkan sebuah roller coaster. The Raid adalah pengecualian.
Gambaran kekerasan di film sebetulnya sudah jamak ada. Kita bisa dengan mudah nonton film laga berisi kekerasan. Film
laga penuh kekerasan terus dibuat karena film jenis ini mengasyikkan
untuk ditonton. Sineas punya pilihan bagaimana adegan kekerasan hendak
ditampilkan di filmnya. Dalam sebuah esai menarik tentang kekerasan di
film, kritikus film Eric Sasono (2004) mendedah kekerasan di film punya
dua kategori besar model. Kategori pertama adalah kekerasan di film
tampil menjadi sesuatu yang indah alias estetisasi kekerasan. Kategori
kedua, kekerasan tampil apa adanya, realistis tanpa estetisasi atawa
berindah-indah.
Contoh estetisasi kekerasan lazimnya terdapat
dalam film-film kungfu yang meskipun menampilkan adegan laga orang
bertarung hingga ada yang mati, terlihat sedap dipandang penonton.
Sedang penggambaran realistis tak hendak mendramatisasi tapi dampaknya
jusstru bisa sangat dramatis. Adegan pembunuhan yang begitu realis di
film Goodfellas (Martin Scorsese, 1990), misalnya, meninggalkan benak
lebih mendalam karena digambarkan begitu nyata. Pada titik itu, saat
menontonnya, yang hendak digambarkan sineasnya adalah, di kehidupan
nyata para gangster, momen pembunuhan dan kematian ya seperti itu apa
adanya. Dengan kesadaran akan berharganya sebuah nyawa, yang
ditinggalkan pada benak penonton lebih mendalam.
Model kekerasan
realis juga tampaknya yang diadopsi dalam Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin
C. Noer, 1984). Adegan kekerasan, penyiksaan PKI pada jenderal-jenderal
TNI yang diculiknya digambarkan begitu vulgar. Rokok disundut ke tangan
dan silet karatan digoreskan ke wajah yang ditampilkan close-up
meninggalkan rasa seolah penontonnya sendiri yang merasakan.
Lantas, di mana posisi The Raid dalam ketegorisasi adegan kekerasan itu?
Buat
saya, The Raid menggabungkan dua ketegori adegan kekerasan di film.
Adegan laganya jelas distilisasi (baca: dibuat bergaya) berdasar gerakan
beladiri pencak silat. The Raid memasukkan unsur koreografi silat yang
rumit dan bergaya. Namun, di saat besamaan, sutradaranya, Gareth Evans,
asal Welsh, Inggris,menampilkannya serealis mungkin. Bila
ditelisik, cara seperti ini rasanya sudah mewabah sejak Bourne Identity
(Doug Liman, 2002) mendobrak pakem film spionase. Penggambaran lebih
realis adegan action di film itu membuat Hollywood me-reka ulang pakem
James Bond. Perkelahian tangan kosong Jason Bourne sedikit banyak mirip
The Raid.
Hanya saja, The Raid membawa level adegan laga lebih
tinggi lagi. The Raid lebih keras, lebih brutal. Darah muncrat memenuhi
layar.Setiap momen pertarungan tampak ditata secara khusus agar
tak terasa terjadi pengulangan. Baku pukul, baku tendang, sayatan pisau,
parang, maupun salakan pistol dan senapan terasa beda di setiap adegan
laga.
Yang lebih istimewa pada The Raid, dan membuatnya mendapat
julukan ultra-violent movie, adalah gambaran vulgar atas kekerasan.
Semua adegan kekerasaan tersaji di layar. Sineasnya tidak menyisakan
pada penonton untuk berimajinasi membayangkan adegan yang tersisa. Ini
tidak lazim.
Yang lazim, demi menghindari kekerasan yang frontal
di layar, sineas mengambil siasat tak menampilkan semua di layar.
Biasanya, sisi korban tak ditampilkan di layar (off-screen). Tindak
kekerasan muncul dari sisi pelaku saja. Gambaran pada sisi korban
terjadi dalam bayangan penonton.
Contoh paling jelas adegan laga
yang tak ditampilkan bisa diambil contohnya dalam The Hunger Games yang
juga sedang tayang bareng The Raid di bioskop. Sejatinya, The Hunger
Games berisi kisah pertarungan remaja sampai mati di hutan belantara
dalam sebuah “reality show”. Tapi, adegan bunuh-membunuh ditampilkan
samar, tidak terlihat, kalaupun iya tidak sadistis.
Maka,
The Raid adalah sebuah anomali—dan oleh karena itu istimewa. Menemukan
adegan kekerasan yang vulgar di bioskop adalah sebuah keistimewaan.
Tidak banyak film macam begini. Di Hollywood yang sensornya ketat,
sineasnya lebih memilih membuat film untuk kategori PG-13 (boleh
ditonton remaja) daripada R (restricted, terlarang bagi di bawah usia 17
tahun) agar mendapat penonton lebih banyak. Sedang untuk ukuran sineas
lokal, belum ada yang terpikir melakukannya sampai Evans membuat
Merantau (2009) dan kemudian The Raid.
Saat menonton The
Raid terjadi momen yang jarang terjadi di bioskop. Penonton
berkali-kali tepuk tangan usai sebuah adegan laga. Penonton menikmati
dan larut dalam ekstase kekerasan.Buat saya, ini persis saat Barry Prima
menang duel di film-filmnya waktu kecil saya nonton layar tancap.
Jika
Anda bertanya, kenapa penonton sampai bertepuk tangan, jawabnya karena
adegan duelnya begitu hebat ditata dan kekerasannya begitu vulgar,
seolah baru pertama kali disaksikan penonton di bioskop. Usai sebuah
adegan laga, kita jadi bertanya-tanya, apa adegan laga berikutnya bakal
lebih hebat lagi. Dan ternyata yang ditampilkan betulan lebih hebat
lagi. Untuk itu kita bertepuk tangan dan semakin keras ketika film
berjalan.
Saat darah begitu banyaak muncrat di layar putih, selalu
muncul kekuatiran. Kita sering mendengar adegan kekerasan di film
mempengaruhi orang melakukan kekerasan serupa di dunia nyata. Saya
sebetulnya tak terlalu percaya klaim itu. Menonton banyak film action
hingga kini tak pernah membuat saya sampai sekarang membunuh orang. Saya
lebih percaya pada omongan Bang Napi di acara Sergap, kejahatan terjadi
karena ada kesempatan plus niat jahat. Bukan karena film. The Raid film
ultra-violent yang asyik. Tak terbantahkan.
Sumber : http://hiburan.plasa.msn.com/film/tabloidbintang/article.aspx?cp-documentid=6025969
SMA ITU .....
SMA kayak neraka ternyata. Bagi kalian yang belum
pernah mengenyam bangku pendidikan di SMA, satu pesan Gue, jangan kau
lakukan hal itu anak muda. Sungguh bangku,meja,dan papan tulis itu adalah benda
keras, benda-benda tersebut tidak menyehatkan bagi fungsi pencernaan kalian.
Cukuplah kalian memakan makanan yang telah memiliki ijin Dinkes dan tersedia di
kantin, jangan sesekali penasaran dan berniat mencicipi bangku, meja, dan papan
tulis. Spidol juga jangan ya ! Percayalah.
Sebenarnya Gue nggak tega buat mengumbar aib anak-anak
SMA, tapi ini menjadi kewajiban Gue sebagai umat beragama untuk mengungkapkan fakta.
Jadi begini ceritanya. SMA tuh ya tempat bagi mereka yang sudah lulus SMP. Kalian
harus memiliki ijazah SMP untuk bisa mendaftar ke SMA, dan itu adalah syarat
mutlak, tidak bisa tidak. Selain bersekolah dengan mengenakan celana, tidak ada
hal lain yang patut dibanggakan pada fase pendidikan ini. Kecuali kalau kalian
punya “strata pergaulan” yang strategis pada saat itu. Oke, Gue akan jelaskan
beberapa tingkat strata tersebut di bawah ini :
1. Strata Populer, pada tingkat yang
paling atas ini dihuni oleh mereka yang memiliki tingkat ekonomi tinggi atau
kaya dan mereka yang berwajah rupawan, serta memiliki bentuk fisik yang
proporsional. Memiliki salah satu dari dua faktor itu sudah masuk dalam strata
ini. Mereka yang masuk dalam strata ini dipastikan memiliki memori indah masa
SMA karena kehidupan sosial mereka pada masa itu jauh dari kata KESENGSARAAN.
Bagi cewek cantik yang masuk dalam strata ini biasa disebut “Kembang Sekolah”,
sementara bagi cowok kaya yang masuk dalam strata ini disebut “Tawon Sekolah”.
2. Strata Bengis, adalah mereka yang
biasa disebut dengan “Jagal Sekolah”. Mereka yang masuk dalam golongan ini
adalah mereka yang bertampang sangar, berbadan kekar, dan berbau menyan. Salah
satu ciri yang menonjol dari mereka adalah sering nongkrong di ruang BK.
Ketentraman dan kedamaian sekolah tergantung pada perilaku mereka sehari-hari.
Tapi entah kenapa gitu ya, banyak “Kembang Sekolah” yang jadi pacar penghuni
golongan ini. Apakah mereka tidak takut akan disiksa ? Apakah mereka tidak
memikirkan keselamatan hidupnya ? Pola pikir gadis remaja pada masa itu memang
sulit ditebak.
3. Strata Cendekia, adalah mereka yang
memiliki IQ diatas rata-rata kebanyakan makhluk penghuni SMA. Mereka ini adalah
golongan yang selalu dipuja oleh sejuta umat pada saat berlangsung ulangan
harian, ujian semester, dan persiapan UAN. Tingkat kecerdasan mereka tidak
perlu diragukan lagi, mengingat prestasi akademik yang mereka raih jauh dari
kata lazim. Salah satu ciri mereka adalah menggunakan atribut keilmuwan yang
biasa dijumpai di sinetron dewasa ini, BERKACAMATA. Pada saat itu Gue juga
berkacamata, tapi Gue nggak diakui sebagai anggota strata ini, sebab Gue
berkacamata adalah bukan karena terlalu banyak mengkonsumsi bacaan ilmiah,
melainkan karena kebanyakan nonton DORAEMON, sebuah tontonan yang wajib bagi
siswa hina kayak Gue.
4. Strata Birokrasi, pada tingkat
ketiga ini adalah mereka yang masuk dalam jajaran pengurus OSIS atau pengurus
kegiatan ekstrakulikuler. Mereka terlihat eksis jika sekolah mengadakan
hajatan. Dari pensi, orientasi siswa baru, donor darah, sampai sunat massal.
Mereka ingin terlihat penting di mata siswa
lain dengan selalu membawa proposal kegiatan sekolah kemanapun mereka
pergi, ke kantin, ke kantor guru, ke lapangan basket, sampai ke WC. Proposal
selalu ada di samping mereka.
5. Strata Rakyat Jelata, pada tingkat ini
adalah mereka yang tidak memiliki peran penting bagi perkembangan pergaulan di
SMA. Mereka ini ibarat kaktus di tengah padang pasir, mayoritas tapi tidak
memperindah suasana. Mereka yang berada pada strata ini lebih banyak
menghabiskan waktu untuk merenungi nasib.
Dan Gue
berada pada strata yang terbawah, STRATA RAKYAT JELATA, tidak kaya, tidak
tampan, tidak memiliki bentuk badan yang atletis,tidak bengis, tidak cerdas,
tidak eksis, dan tidak punya pacar. Hal yang paling Gue syukuri waktu SMA
adalah cita-cita Gue untuk bertemu serta berteman dengan wanita ber-tetek
sempurna telah terpenuhi. Itu lebih dari cukup buat Gue. Sungguh.
3 tahun Gue habisin dalam tekanan nasib berada pada
strata pergaulan yang tidak strategis. Hal inilah yang membuat Gue jadi ngiri
pada kakak-kakak yang sedang berbentuk MAHASISWA. Enak gitu kayaknya KULIAH,
bisa make baju bebas waktu ke kampus, dan terlihat santai. Dan satu lagi, Gue
nggak yakin kalau di Universitas yang katanya tempat para intlektual muda, juga
berlaku penggolongan status pergaulan seperti yang terjadi di SMA. Pemikiran
yang 3 tahun kemudian Gue sesali.
DAN SEMUA HANYA MASALAH WAKTU
Aroma pagi yang ranum, dengan sepuluh pasang burung gereja, diatas
tiang listrik tua sebelah utara. Kau terjaga, masih memeluk selembar
syal merah jambu, yang sudah kusut penuh ruas, namun wanginya masih
seperti tadi malam, persis sebelum kau menutup pintu, memadamkan mata
lampu. Kini cuma ada hening, dan kau masih menatap cangkir-cangkir kopi,
yang mendingin sisa semalam.
Dalam pejam, hidup terasa lebih nyaman, karena saat kau terjaga dalam
nyata, remah waktu hanyalah menuai getir, menggerogoti sepotong demi
sepotong, dinding hatimu yang sudah terlalu tipis, nyaris habis. Namun
apa lacur, esok hari, pagi bakal datang lagi, menunggu dibalik pintu
untuk kau jumpai, dan itu, hanya bisa kauhadapi, dengan hela nafas
panjang, dan senyum yang membisu.
Tadi malam kenangan itu mencair, dan pagi ini sudah jadi embun,
sejuknya sampai di pucuk-pucuk daun. Aku kembali memulai pagi, menyusuri
jalan-jalan yang biasa kita lewati, memutar lagu-lagu yang biasa kita
nyanyikan, semuanya masih sama, sungguh masih sama, hingga ditepi jalan
itu, aku kembali sadar, tak ada lagi jejakmu, dan aku benci itu.
TIUP LILINNYA DAN KUMANDANGKAN LAGU MIMPIMU
Detik ini, kau kembali dihadapkan pada pengulangan sebuah momen,
dimana kau pernah dilahirkan, beberapa tahun silam. Decak kagum dan rasa
syukur, tak henti terucap dari bibirmu, begitupula rangkaian mimpi dan
harapan, yang kembali kau kumandangkan ke Yang Maha Kuasa.
Tiba-tiba saja kau kembali ke masa lalu, saat dimana bu guru bertanya
padamu, kalau sudah besar mau jadi apa? sontak disudut sana menjawab
“pilot”, “dokter”, dan segala macam profesi masa depan yang
membanggakan. Lalu dibangku ketiga dari depan, kau, seorang gadis
mungil, menatap jauh kedepan, dengan mata berbinar, dan senyum kecil
yang terus mengukir, seperti tak sabar menunggu giliran, untuk
menumpahkan segala mimpi-mimpimu, yang sudah kau kumpulkan dan tertata
rapi di kepalamu.
Tapi sekejap kau merasa bingung, karena mimpi-mimpimu jauh lebih
banyak daripada kebanyakan teman-temanmu, lalu kau bergumam dalam hati,
apakah pantas, untuk memiliki mimpi lebih dari satu??
Mungkin banyak diantara mereka yang mencibir, kalau kau hanya pemimpi, tapi kau tak perlu ragu, teruslah bermimpi, karena mimpi-mimpi lah yang terus membuatmu bertahan hidup, sampai di titik ini, hingga saat ini, saat dimana kau kembali memejamkan mata, dan meniup lilin-lilin kecil dihadapanmu, untuk kesekian kalinya.
KSATRIA TERBAIK PUN BERHAK UNTUK BERDARAH
Tak adil rasanya, jika aku harus menghindari perih, yang jelas-jelas
sudah menunggu didepan pintu. Tak perlu rasanya mencari keramaian,
menyingkirkan barang-barang, atau bahkan menghapus setapak demi setapak,
jejak yang pernah kau toreh disini. Semua itu hanya akan menguras
tenaga, mengoyak hati, bahkan celakanya, terasa hanya seperti membodohi
diri sendiri. Karena semakin kuat kau berusaha membuang kepedihan itu,
semakin cepat dia berlari kearahmu, untuk kembali menghantam, dengan
benturan yang dua kali lipat lebih keras rasanya.
Jadi duduk sajalah, menangis sajalah sekeras yang kau bisa.
Nikmatilah setiap lekuk perih yang meluluhlantakkan rongga-rongga
jiwamu, menelusuk hingga relung nafas yang terdalam. Tak perlu kau
berlindung dibalik tirai keramaian, karena memang niscaya tak ada yang
bisa mengelak dari kepedihan, bahkan ksatria terbaik pun berhak untuk
berdarah.
Kau memang telah pergi, tapi tak seberapa jauh, kita hanya terpaut
ruang dan dimensi, yang sebenarnya tak lebih jauh dari pelupuk mataku.
Konon, keindahan itu hanya bisa terlihat saat kau terpejam. Jadi,
kapanpun aku membutuhkanmu, aku hanya perlu memejamkan mata sejenak,
menghirup nafas panjang, dan seketika itu pula, kau hadir dengan sejuta
senyum yang begitu menenangkan.
Wahai seluruh perih, datanglah kalian malam ini, masuklah kedalam
sini, koyak habis seluruh jiwa yang tersisa, karena bukan kepadamu aku
menyerah. Dan saat kalian telah selesai, saat itulah aku akan bangun,
untuk segera mengecup mimpi-mimpi.
SEPI TAKKAN PERNAH SEDERHANA
Konon, sepi itu membunuh, menghimpit paru-parumu terlalu kencang,
sampai kau lupa bagaimana caranya bernafas. Ujung dadamu selalu terasa
kian sesaknya, hingga terkadang kau tak sadari, matamu sudah berkabut,
yang pada akhirnya berlumuran air mata. Sungguh, sepi tak pernah bisa
terasa sederhana, kerap kali membuatmu meradang, dan selalu saja
mempecundangimu, dengan cara seperti itu.
Sulit memang jika Tuhan sudah punya keinginan, Dia tak pernah bisa
bersabar. Dan sukar bagimu untuk menang, saat kau berurusan dengan
takdir, karena takdir sama sekali tak bisa menunggu. Kau hanya bisa
duduk manis menerimanya, dipaksa merasakannya, dan kau sangat sadar,
kalau kau tak mampu mengubah apapun didalamnya. Takdir hanya bisa
memberimu pesan, bahwa dunia bukanlah tempat, dimana semua keinginan
bisa terwujud.
Inilah Tuhan, sang maha pengasih, lagi maha penyayang, tapi disatu
sisi, Dia terbukti maha kuat. Karena terlalu kuatnya, hanya dalam hitungan
detik, dia bisa membuatmu tersungkur, jatuh kedalam jurang kepedihan,
mencabik sedikit demi sedikit dinding-dinding jiwamu, yang semakin lama
semakin terlihat ringkih.
Melanjutkan hidup, tentu saja, karena memang hidup pasti akan
berlanjut dengan sendirinya. Hanya saja, hidup ini tak cukup hanya
sekedar untuk dilanjutkan, tapi juga patut dirayakan. Dan kepergianmu,
membuat segalanya menjadi sulit, dan kerap kali membuatku bertanya,
bagaimana caranya merayakan hidup, saat kau berada dititik ini, titik
dimana Tuhan telah membuat kita bermandi jarak, berpeluh sepi, dan terus
terbenam dalam kekosongan.
Kaulah rindu itu, sesaat dalam pelukan, lalu kini melepas pergi,
sementara aku masih ingin sekali menari. Sialnya, hidup harus terus
berjalan, bergerak dan terus melaju dengan congkaknya. Dan kini, akupun
terpaksa harus sekarat dihadapan kenyataan.