Posted by : Unknown Minggu, 25 Maret 2012



UNTUK waktu yang lama, The Raid pastilah akan diingat-ingat setiap orang yang sudah menontonnya.
The Raid adalah jenis film yang memberi pengalaman baru dalam ritual menonton film. Tidak pernah sebelumnya, dalam ukuran film manapun, apalagi Indonesia, sebuah film menampilkan adegan laga dengan begitu keras, begitu brutal. The Raid disebut tak sekadar film kekerasan (violent movie) tapi lebih dari itu, ultra-violent movie.

Kenapa The Raid istimewa?

Secara pengisahan The Raid punya plot sederhana. Sekelompok pasukan polisi khusus, lebih persis tim SWAT polisi Amerika ketimbang Densus 88, menyerbu sebuah gedung sarang penjahat. Pertarungan berlangsung dari satu tingkat ke tingkat lain. Itu saja. Anda pasti tak terlalu peduli pada si tokoh utamanya, Rama (diperankan Iko Uwais) punya misi lain saat bilang di awal film, “Aku akan bawa dia pulang.” Atau ketika penonton diajak pada sebuah penjelasan apa misi penyerbuan itu direstui lembaga kepolisian atau tidak.

Namun, kita, sebagai penonton, butuh adegan itu. Sebab itu momen-momen ketika kita menghela nafas sejenak, minum coke atau makan popcorn yang sudah dibeli. Lantaran di sebagian besar isi film ini, sineasnya seolah tak memberi kesempatan kita bernafas.

Saya katakan menonton The Raid adalah pengalaman baru karena untuk kali pertama, saat nonton film jantung saya berdegup sama persis ketika naik roller coaster Halilintar di Dufan. Saya percaya, saat sebuah film dikatakan a roller coaster ride ungkapan tersebut sekadar hiperbolis. Karena keasyikan nonton film tentu akan beda dengan saat diombang-ambingkan sebuah roller coaster. The Raid adalah pengecualian.

Gambaran kekerasan di film sebetulnya sudah jamak ada. Kita bisa dengan mudah nonton film laga berisi kekerasan. Film laga penuh kekerasan terus dibuat karena film jenis ini mengasyikkan untuk ditonton. Sineas punya pilihan bagaimana adegan kekerasan hendak ditampilkan di filmnya. Dalam sebuah esai menarik tentang kekerasan di film, kritikus film Eric Sasono (2004) mendedah kekerasan di film punya dua kategori besar model. Kategori pertama adalah kekerasan di film tampil menjadi sesuatu yang indah alias estetisasi kekerasan. Kategori kedua, kekerasan tampil apa adanya, realistis tanpa estetisasi atawa berindah-indah.

Contoh estetisasi kekerasan lazimnya terdapat dalam film-film kungfu yang meskipun menampilkan adegan laga orang bertarung hingga ada yang mati, terlihat sedap dipandang penonton. Sedang penggambaran realistis tak hendak mendramatisasi tapi dampaknya jusstru bisa sangat dramatis. Adegan pembunuhan yang begitu realis di film Goodfellas (Martin Scorsese, 1990), misalnya, meninggalkan benak lebih mendalam karena digambarkan begitu nyata. Pada titik itu, saat menontonnya, yang hendak digambarkan sineasnya adalah, di kehidupan nyata para gangster, momen pembunuhan dan kematian ya seperti itu apa adanya. Dengan kesadaran akan berharganya sebuah nyawa, yang ditinggalkan pada benak penonton lebih mendalam.

Model kekerasan realis juga tampaknya yang diadopsi dalam Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C. Noer, 1984). Adegan kekerasan, penyiksaan PKI pada jenderal-jenderal TNI yang diculiknya digambarkan begitu vulgar. Rokok disundut ke tangan dan silet karatan digoreskan ke wajah yang ditampilkan close-up meninggalkan rasa seolah penontonnya sendiri yang merasakan.

Lantas, di mana posisi The Raid dalam ketegorisasi adegan kekerasan itu?

Buat saya, The Raid menggabungkan dua ketegori adegan kekerasan di film. Adegan laganya jelas distilisasi (baca: dibuat bergaya) berdasar gerakan beladiri pencak silat. The Raid memasukkan unsur koreografi silat yang rumit dan bergaya. Namun, di saat besamaan, sutradaranya, Gareth Evans, asal Welsh, Inggris,menampilkannya serealis mungkin. Bila ditelisik, cara seperti ini rasanya sudah mewabah sejak Bourne Identity (Doug Liman, 2002) mendobrak pakem film spionase. Penggambaran lebih realis adegan action di film itu membuat Hollywood me-reka ulang pakem James Bond. Perkelahian tangan kosong Jason Bourne sedikit banyak mirip The Raid.

Hanya saja, The Raid membawa level adegan laga lebih tinggi lagi. The Raid lebih keras, lebih brutal. Darah muncrat memenuhi layar.Setiap momen pertarungan tampak ditata secara khusus agar tak terasa terjadi pengulangan. Baku pukul, baku tendang, sayatan pisau, parang, maupun salakan pistol dan senapan terasa beda di setiap adegan laga.

Yang lebih istimewa pada The Raid, dan membuatnya mendapat julukan ultra-violent movie, adalah gambaran vulgar atas kekerasan. Semua adegan kekerasaan tersaji di layar. Sineasnya tidak menyisakan pada penonton untuk berimajinasi membayangkan adegan yang tersisa. Ini tidak lazim.

Yang lazim, demi menghindari kekerasan yang frontal di layar, sineas mengambil siasat tak menampilkan semua di layar. Biasanya, sisi korban tak ditampilkan di layar (off-screen). Tindak kekerasan muncul dari sisi pelaku saja. Gambaran pada sisi korban terjadi dalam bayangan penonton.

Contoh paling jelas adegan laga yang tak ditampilkan bisa diambil contohnya dalam The Hunger Games yang juga sedang tayang bareng The Raid di bioskop. Sejatinya, The Hunger Games berisi kisah pertarungan remaja sampai mati di hutan belantara dalam sebuah “reality show”. Tapi, adegan bunuh-membunuh ditampilkan samar, tidak terlihat, kalaupun iya tidak sadistis.

Maka, The Raid adalah sebuah anomali—dan oleh karena itu istimewa. Menemukan adegan kekerasan yang vulgar di bioskop adalah sebuah keistimewaan. Tidak banyak film macam begini. Di Hollywood yang sensornya ketat, sineasnya lebih memilih membuat film untuk kategori PG-13 (boleh ditonton remaja) daripada R (restricted, terlarang bagi di bawah usia 17 tahun) agar mendapat penonton lebih banyak. Sedang untuk ukuran sineas lokal, belum ada yang terpikir melakukannya sampai Evans membuat Merantau (2009) dan kemudian The Raid.

Saat menonton The Raid terjadi momen yang jarang terjadi di bioskop. Penonton berkali-kali tepuk tangan usai sebuah adegan laga. Penonton menikmati dan larut dalam ekstase kekerasan.Buat saya, ini persis saat Barry Prima menang duel di film-filmnya waktu kecil saya nonton layar tancap.

Jika Anda bertanya, kenapa penonton sampai bertepuk tangan, jawabnya karena adegan duelnya begitu hebat ditata dan kekerasannya begitu vulgar, seolah baru pertama kali disaksikan penonton di bioskop. Usai sebuah adegan laga, kita jadi bertanya-tanya, apa adegan laga berikutnya bakal lebih hebat lagi. Dan ternyata yang ditampilkan betulan lebih hebat lagi. Untuk itu kita bertepuk tangan dan semakin keras ketika film berjalan.

Saat darah begitu banyaak muncrat di layar putih, selalu muncul kekuatiran. Kita sering mendengar adegan kekerasan di film mempengaruhi orang melakukan kekerasan serupa di dunia nyata. Saya sebetulnya tak terlalu percaya klaim itu. Menonton banyak film action hingga kini tak pernah membuat saya sampai sekarang membunuh orang. Saya lebih percaya pada omongan Bang Napi di acara Sergap, kejahatan terjadi karena ada kesempatan plus niat jahat. Bukan karena film. The Raid film ultra-violent yang asyik. Tak terbantahkan.

Sumber :  http://hiburan.plasa.msn.com/film/tabloidbintang/article.aspx?cp-documentid=6025969

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

- Copyright © JOMBLO YANG TERTUKAR -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -